ABSTRAK
Sering sekali kita mendengar
semboyan “Orang bijak membayar pajak!”. Pajak yang dimaksud dalam semboyan
tersebut sebenarnya mencakup segala jenis pajak. Seperti Pajak Penghasilan,
Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain sebagainya. Namun, semboyan tersebut lebih
ditekankan kepada Pajak Bumi dan Bangunan. Sebelum kita membahas lebih jauh
lagi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan itu? Pajak
Bumi dan Bangunan atau biasa disingkat dengan PBB merupakan pajak Negara yang
dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan UU No.12 tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 tahun 1995.
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan
iuran rakyat kepada Negara, guna melaksanakan pemerintahan dan pembangunan yang dalam pemungutannya sudah
disetujui bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan didasarkan kepada Nilai Jual Objek Pajak. Sehingga dengan demikian
dapat tercipta rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dalam membayar
pajak. Dasar pemungutan Pajak itu sendiri yaitu istilah-istilah Hukum Perdata
yang memberikan penafsiran serta pengertian yang sebagian besar digunakan dalam
Hukum Pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan berlaku oleh siapapun
yang menggunakan bumi, tanah, serta bangunan di Indonesia baik WNI maupun WNA.
Meskipun WNA yang tinggal di Indonesia memiliki hak kebendaan atau hak eigendom
atas tanah yang dimilikinya, mereka tetap harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sebagaimana halnya dengan tujuan hukum wajib pajak yang menimbulkan adanya
hubungan hukum karena adanya perikatan (verbintenis) dan perjanjian yang
terdapat dalam KUH Perdata.
BAB 2
Hukum Perdata
1.
Hukum
Perdata yang Berlaku di Indonesia
1.1.
Sejarah
Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Bermula di Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum
Perdata Romawi, disamping adanya Hukum Tertulis dan Hukum Kebiasaan setempat.
Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada saat itu dikarenakan keadaan hukum di
Eropa yang sedang kacau-balau sehingga tidak ada kepastian hukum dan pada
akhirnya orang mencari jalan keluar untuk mendapatkan kepastian hukum. Pada
tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu
kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais”. Setelah berakhirnya
penjajahan dan dinyatakan Nederland distukan dengan Perancis pada tahun 1811,
Code Civil des Francais ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Lalu, setelah
kemerdekaan Belanda dari Perancis, bangsa Belanda mulai memikirkan dan
mengerjakan kodifikasi dari hukum Perdatanya. Dan tepat pada 5 Juli 1830
kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK
(Wetboek Van Koophandle). Dan pada tahun 1948, kedua Undang-Undang tersebut
diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai sekarang kita kenal denngan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW. Sedangkan
KUH Dagang untuk WVK.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, KUHP atau BW berperan sebagai
dasar untuk pemungutan pajak. Dimana, yaitu istilah-istilah Hukum Perdata yang
memberikan penafsiran serta pengertian yang sebagian besar digunakan dalam
Hukum Pajak.
1.2.
Pengertian
dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur
hubungan antara perorangan didalam masyarakat. Yang memiliki arti luas yaitu meliputi
semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum
Pidana. Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) merupakan hukum yang memuat
segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan didalam masyarakat
dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa
didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara
timbal balik. Disamping itu, terdapat juga Hukum Perdata Formil yang dikenal dengan
HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat
segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek
dilingkungan perdata.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa dasar pemungutan pajak
yaitu KUH Perdapata yang dimana apabila terjadi kendala dalam proses pemungutan
pajak atau dengan kata lain subyek pajak tidak membayar pajak, maka dapat
dikatakan bahwa subyek pajak telah melanggar hukum dan tindakan tersebut akan
diproses dengan HAP (Hukum Acara Perdata).
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia bersifat majemuk atau
beranekaragam. Penyebab keanekaragaman tersebut dikarenakan 2 faktor, yaitu:
1. Faktor
Ethnis, disebabkan karena keaneka ragaman Hukum Adat di Indonesia karena Negara
kita ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2. Faktor
Hostia Yuridis, dapat kita lihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk
Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Golongan
Eropa dan yang dipersamakan.
b. Golongan
Bumi Putera.
c. Golongan
Timur Asing.
1.3.
Sistematika
Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat.
Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlakuan Undang-Undang, berisi:
·
Buku I
Berisi
tentang orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum
kekeluargaan.
·
Buku II
Berisi
tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Pajak Bumi dan Bangunan termasuk dalam sistematika hukum
perdata karena seperti sudah dijelaskan diatas bahwa Buku II berisi tentang hal
benda. Benda yang dimaksud adalah bisa dalam bentuk bangunan yang merupakan
objek pajak sehingga dikenakan iuran sebagaimana telah diatur dalam UU No.12
tahun 1995.
·
Buku III
Berisi
tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik
antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
·
Buku IV
Berisi
tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian
dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat yang kedua yaitu menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi
dalam 4 bagian, yaitu:
I.
Hukum tentang Diri Seseorang (Pribadi).
Mengatur manusia sebagai subyek dalam Hukum, mengatur tentang
perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri.
II.
Hukum Kekeluargaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari
hubungan kekeluargaan.
III.
Hukum Kekayaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dinilai dengan uang.
IV.
Hukum Warisan.
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia
meninggal.
BAB 3
Hukum Kebendaan
1.
Hak
Eigendom atas Tanah menurut B.W.
Peraturan-peraturan B.W. yang mengatur mengenai hak eigendom
dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga Negara
Indonesia yang berbangsa Eropa, Tionghoa, Arab dan Timur Asing lain. Akan
tetapi hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B.W. dapat dimiliki
juga oleh orang Indonesia asli, yaitu cara jual beli, tukar menukar,
penghibaan, warisan, dan lain sebagainya. Orang-orang Indonesia asli amat perlu
tahu mengenai peraturan B.W. mengenai hak eigendom dan hak lain-lain.
Pasal 570 B.W. menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak
yang mempunyai dua unsur, yaitu:
a. Hak untuk
memungut hasil atau kenikmatan sepenuhnya dari barang.
b. Hak untuk
menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan,
menghibahkan, dan lain sebagainya.
Dan seperti halnya juga dengan hak milik (pada hakikatnya),
dalam Pasal 570 B.W. itu dilakukan,
bahwa hal mempergunakan barang eigendom itu ada batasnya yang terletak
pada undang-undang tertentu, pada ketentuan bahwa hak-hak orang lain tidak
boleh terdesak, dan pada kemungkinan pencabutan hak eigendom berdasarkan atas
kepentingan umum.
Pada hakikatnya, bagi seluruh warga Negara yang tinggal di
Indonesia dan menggunakan bumi, tanah, ataupun membangun bangunan di Indonesia
akan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang N0.12 Tahun 1995. Sekalipun warga tersebut berkewarganegaraan
asing namun apabila mereka menggunakan bumi, tanah, ataupun bangunan sebagai
tempat tinggal, tempat usaha, dan sebagainya mereka tetap membayar pajak sesuai
ketntuan walaupun mereka memiliki hak eigendom. Hak eigendom yang mereka miliki
hanya sebatas kenikmatan atas suatu obyek tertentu yang disertai dengan
pembayaran pajak. Karena hak eigendom tidak meliputi pada peraturan bebas pajak.
Sifat Perbedaan (Zakelijk karakter)
Hak perbedaan ialah hak perseorangan (persoonlijk recht) atas
suatu benda, seperti misalnya hak sewa. Hak sewa bagi yang menyewakan dan
sipenyewa memiliki hak yang berbeda. Hak bagi yang meyewakan tersebut memiliki
hak untuk meminta bayaran kepada sipenyewa atas benda yang disewakan. Sementara
hak sipenyewa yaitu menggunakan benda yang disewakan tersebut sesuai dengan
ketentuan.
Sementara mengenai pembayaran pajak bumi dan bangunannya
biasanya diatur sesuai dengan perjanjian antara penyewa dan sipenyewa, siapa
diantara mereka yang membayarkan iuran tersebut.
Sifat Mutlak (Absoluut karakter)
Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku II B.W.
adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap
siapapun juga yang mengganggu terlaksakannya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal
tegor oleh sipemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu. Sifat mutlak
ini juga terdapat hak-hak yang bukan hak perbedaan seperti hak pengarang, hak
oktroi, dan hak cipta dagang. Hak-hak semacam ini dikatakan sebagai hak
monopoli dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang pengganggu.
Sebagaimana halnya dalam penarikan iuran Pajak Bumi dan
Bangunan, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pengganggu. Maka pemerintah
memiliki hak mutlak untuk memberikan hukuman kepada sipeganggu tersebut
sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata dalam pelaksanaan penarikan iuran
Pajak Bumi dan Bangunan.
Pembatasan Hak Eigendom
Pembatasan hak eigendom terdapat 2
macam, yaitu:
1) Berdasarkan
atas hak-hak orang lain.
2) Berdasarkan
atas suatu penentuan belaka dari Undang-undang.
Seperti
telah diterangkan diatas bahwa hak eigendom merupakan sebatas kenikmatan atas
suatu objek tertentu tanpa disertai dengan pembebasan atas Pajak Bumi dan
Bangunan. Dan salah satu dari pembatasan hak eigendom atas suatu penentuan
belaka dari Undang-undang salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan.
1.1.
Cara
Mendapatkan Hak Eigendom atas Tanah
1)
Pencakupan barang lain menjadi satu benda.
2)
Mewarisi.
3)
Penyerahan yang mengikuti perjanjian untuk
memindahkan hak eigendom.
4)
Pengaruh lampau waktu.
2.
Hak-hak
Lain atas Tanah menurut B.W.
Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah
menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang
tanah ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga
dalam sistem B.W. selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah sebab pasal
520 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada
“eigenar” nya adalah kepunyaan Negara. Kalau hak lain sangat kuat, artinya pada
wujud pelaksanaanya tidak berbeda dengan hak eigendom, maka hak eigendom hak
tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi kalau hak lain terhenti.
Tentang hak “bezit” dikatakan, bahwa perhubungannya dengan
hak eigendom adalah sedikit berlainan, yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi
“bezitter”.
Hak Bezit
Soal bezit yaitu soal istimewa dari B.W. yang tiada taranya
dalam Hukum Adat. Keistimewaan hak peraturan hukum bezit ini, terletak pada hal
bahwa, hukum melindungi keadaan suatu bidang tanah yang belum tentu berdasar
atas suatu hak sejati. Perlindungan ini kalau perlu berhadap-hadapan dengan
seorang yang nyata yang mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom
sejati.
Gugatan yang Melekat pada Hak Bezit
Ada dua
macam gugatan bezit, yaitu:
1) Dalam hal
seorang Bezier dipaksa oleh seorang lain untuk melepaskan penguasaan atas hak
tanah yang dipegang. (pasal 563 B.W.)
2) Dalam hal
seorang Bezier, selama menguasai tanah yang dipegang, terganggu oleh perbuatan
orang lain, yang bersifat menguasai juga, tetapi tidak dengan paksaan.
Hak Orang Tetangga (Burenrecht =
Hukum bagi Orang-orang Tetangga)
Peraturan B.W. yang mengenai orang-orang tetangga diantara
orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik pekarangan. Adalah contoh dari
perakitan yang berumber melulu dari undang-undang.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah
laku orang-orang sebagai anggota masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya
sehari-hari selalu bergaul satu sama lain. Pergaulan ini sudah sewajarnya
sering terlihat diantara orang-orang pemilik pekarangan, yang saling merupakan
tetangga satu sama lain. Orang-orang satu sama lain mempunyai berbagai kepentingan
dalam menggunakan pekarangan. Namun, kepentingan tersebut tidak selalu dapat
dipuaskan dengan tidak memperkosa kepentingan tetangga.
Karena itu, dengan sendirinya harus diakui bahwa ada
kepentingan seseorangan maka seharusnya dibatasi dalam hal memuaskannya,
disinilah terletak prinsip saling harga menghargai terhadap pelbagai
kepentingan tetangga sehingga lahirlah lalu llintas kesusilaan ini diantara
orang-orang tetangga, lalu lintas kesusilaan ini menciptakan pelbagai larangan
dan/atau suruhan untuk melakukan suatu hal.
Pada umunya, kalau seorang tetangga dengan sengaja melanggar
lalu lintas kesusilaan ini, dan ia dengan pelanggaran itu merugikan orang lain,
maka orang itu sudah dapat digugat didepan hakim.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, ditentukan bahwa pekarangan
juga merupakan objek pajak sebagaimana tergantung pada Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP). Dimana, seorang yang memiliki pekarangan akan dikenakan pajak diluar
bangunan (rumah) yang didirikannya. Dan apabila seseorang tetangga yang tidak
menanggung pajak atas pekarangan tersebut namun menggunakan pekarangan tersebut
dengan tidak semestinya, maka ia telah melanggar hukum dan dapat digugat
didepan hakim.
Pembebanan Pekarangan (“efdientbaarheden,” “servituten”)
Pembebanan pekarangan ini oleh pasal 674 ayat 1 B.W. disebut
sebagai suatu beban, yang diletakkan pada sebidang pekarangan untuk pemakaian
untuk keperluan pekarangan lain, milik orang lain. Ayat 2 menekankan, bahwa
pembebanan ini tidak boleh diadakan kepada perseorangan dan juga tidak boleh diadakan
untuk keperluan perseorangan. Penyebutan arti semacam ini, mengakibatkan adanya
suatu hak perbedaan yang tidak diberikan kepada manusia atau kepada badan
hukum, melainkan kepada suatu benda, yaitu kepada sebidang pekarangan yang
disebut sebagai pekarangan yang menguasai, sedangkan pekarangan yang mendapat
beban disebut dengan pengarangan yang menderita atau yang mengabdi.
Mengenai pembebanan pekarangan, didalam Pajak Bumi dan
Bangunan juga terdapat ketentuan atas pajak yang dikenakan pada suatu
pekarangan yang diatur dalam UU No.12 tahun 1995.
Hak Erfpcht
Hak erfpcht dalam pasal 720 B.W. digambarkan sebagai hak
untuk menikmati hasil dari sebidang tanah milik orang lain secara luas-luasnya,
dengan kewajiban membayar setiap tahun sejumlah uang atau sejumlah hasil bumi
kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu.
Jadi, seseorang yang menikmati hasil dari sebidang tanah yang
dimiliki seorang eigendom harus membayar sejumlah uang atas hasil dari sebidang
tanah tersebut, ia hanya membayar kepada pemilik tanah tersebut tanpa harus
membayar pajak kepada Negara. Karena, pajak tersebut dikenakan kepada pemilik
tanah tersebut sesuai diatur dalam UU N0.12 tahun 1995.
Hak Opstal
Pasal 711 B.W. mulai dengan mengatakan, bahwa hak postal
adalah suatu hak perbedaan untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan
tanaman-tanaman diatas tanah milik orang lain.
Sama halnya dengak hak erfpcht, namun pembebanan PBB
dibayarkan oleh orang yang menggunakan rumah-rumah, bangunan dan
tanaman-tanaman tersebut. Bukan orang yang memilikinya yang membayar.
Hak Vruchtgebruik (Hak Memungut Hasil)
Menurut pasal 756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu
hak perbendaan untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak
eigendom atas barang itu, asal saja jangan sampai barang itu musnah. Perbedaan
dengan hak efrpcht hanya terletak pada tanah dan barang lain yang tak bergerak,
sedangkan hak vruchgebruik dapat mengenai barang bergerak. Dan perbedaan yang
lebih penting terdapat pada pasal 807 B.W. bahwa hak ini tidak dapat diwarisi.
Hal Pengurus Barang (Bewindvoerder)
Adakalanya seorang pihak ketiga ditentukan untuk mengurus
barang-barang yang berada dalam pembebanan hak vruchtgebruk, yaitu:
a) Apabila
ditentukan pada terbentuknya hak vruchtgebruik oleh si pemberi hak
vruchtgebruik dalam surat hibah wasiat atau dalam membentuk persetujuan antara
si pemilik dan si pemungut hasil.
b) Apabila itu
ditentukan oleh Hakim, kalau si pemungut hasil yang tidak mengadakan jaminan
(pasal 786) atau kalau ia mengecewakan
dalam hal mempergunakan hak vruchtgebruik secara merusak barang atau membiarkan
barangnya tidak terpelihara (pasal 815 atau pasal 816 B.W.)
Hak Memakai dan Mendiami (gebruik
en bewoning)
Disebutkan dua hal, yaitu memakai dan mendiami. Tetapi
sebetulnya yang dimaksudkan ialah hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai
rumah kediaman, maka hak memakai ini dinamakan hak mendiami. Untuk mudahnya
hanya disebut hak memakai saja.
Bunga Tanah
Menurut pasal 737 B.W. bunga tanah ini adalah suatu kewajiban
seorang pemilik tanah untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang
dan sejumlah hasil bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu,
akan membayar bunga ini, menurut pasal 739 B.W. melekat pada tanah. Artinya,
tetap berada, meskipun tanahnya dijual
kepada orang ketiga. Jadi, sipembeli tanah juga berkewajiban untuk melakukan
pembayaran bunga itu.
Meskipun suatu tanah tertentu telah dikenakan bunga tanah
akan tetapi tanah tersebut juga tetap dikenakan pajak sebagaimana telah diatur
dalam UU No.12 tahun 1995.
Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat
Undang-undang Darurat tentang penyelesaian soal pemakaian
tanah perkebunan oleh Rakyat no. 8 tahun 1954 yang mulai berlaku pada tanggal
12-6-1954 memungkinkan hak atas suatu tanah perkebunan dicabut oleh pemerintah
dengan pemberian ganti kerugian yang ditetapkan. Kemudian diberikan dengan satu
hak kepada “rakyat dan penduduk lainnya,” yang memenuhi syarat, menurut
ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria (pasal 11). Tindakan seperti ini
dimaksudkan akan dilakukan di daerah-daerah, dimana tanah-tanah perkebunan de
facto dikuasai oleh rakyat. Dalam hal ini menurut Undang-Undang Darurat
tersebut, semua harus dirundingkan dulu antara Pemilik Perkebunan dan Rakyat
tentang penyelesaian soal pemakaian tanah itu secara damai. Kalau itu tidak mungkin
maka pemerintah akan bertindak.
Objek pajak lainnya selain yang telah disebutkan diatas yaitu
Perkebunan. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 telah ditentukan bahwa, Nilai
Jual Kena Pajak-nya adalah sebesar 40%.
Ketentuan-ketentuan Konvensi
Pasal-pasal yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
konvensi yaitu undang-undang Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal-pasal I s/d IX.
BAB 4
Hukum Perikatan dan Perjanjian
1.
Perihal
Perikatan dan Sumber-sumbernya
Yang dimaksud dengan “perikatan” ialah suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang
satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut
dinamakan pihak yang berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang “debitur”. Adapun barang yang dapat
dituntut disebut dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:
1) Menyerahkan
suatau barang
2) Melakukan
suatu perbuatan
3) Tidak
melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang,
diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan
(perjanjian) atau dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang
belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari
suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang
berlawanan dengan hukum.
Hukum Pajak Bumi dan Bangunan bertujuan untuk menimbulkan
suatu perikatan. Yang mana sudah dijelaskan bahwa “perikatan” ialah suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi
hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya. Begitu juga
halnya dengan Pajak Bumi dan Bangunan, dimana Pemerintah sebagai kreditur dan
masyarakat sebagai debitur sebagaimana telah diatur dalam UU No. 12 tahun 1995.
2.
Macam-macam
Perikatan
A.
Perikatan
Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan
pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak
terjadi.
B.
Perikatan
yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu
(Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu
ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau
tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
C.
Perikatan
yang Membolehkan Memilih (Alternatif)
Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam
prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
D.
Perikatan
Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai
pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau
sebaliknya.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapai satu orang
berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar
hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu dari mereka melunasi hutang maka
pelunasan tersebut juga membebasi yang lainnya.
E.
Perikatan
yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada
kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula pada
kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan
tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika
salah satu pihak telah digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya dapat
terjadi karena meninggal maka menyebabkan ia digantikan oleh ahli warisnya.
F.
Perikatan
dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah si berhutang melalaikan kewajibannya, maka
dalam perjanjian dinyatakan bahwa bila si berhutang melalaikan kewajibannya
maka akan dikenakan hukuman.
3.
Syarat-Syarat
untuk Sahnya Perjanjian
Untuk
sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:
1) Sepakat
mereka yang mengikat dirinya.
2) Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian.
3) Suatu hal
tertentu.
4) Suata sebab
yang halal.
4.
Pembatalan
Suatu Perjanjian
Dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah diterangkan
bahwa, apabila satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah
batal demi hukum. Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak
ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian tersebut. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu
perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Maka salah satu
pihak tidak dapat menuntut didepan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
ini diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada perikatan atau
perjanjian.
Apabila, dalam membuat perjanjian ada yang kurang mengenai
syarat subjektif maka perjanjian itu
bukan batal demi hukum namun dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak.
Tentang suatu perjanjian yang tidak mengandung suatu syarat
tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat
dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh kedua belah pihak.
5.
Saat dan
Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada
detik terjadinya setuju atau sepakat antar dua belah pihak mengenai suatu hal.
Sepakat adalah persesuaian paham dan kehendak antar kedua belah pihak.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, perjanjian atas pajak
dilakukan secara tertulis oleh pemerintah sejak tahun 1984, atau awal dibuatnya
Undang-undang mengenai perpajakan. Dan subyek pajak (sipembayar pajak) harus
dengan suka rela mengikuti peraturan yang telah ditetapkan, karena mengingat kembali
mengenai sifat pajak yaitu memaksa.
6.
Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah sebuah peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain, atau dimana kedua orang atau lebih telah berjanji
untuk melaksanakan sesuatu.
Perjanjian-perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Perjanjian
untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2) Perjanjian
untuk membuat sesuatu.
3) Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu.
Sebagai subyek pajak yang melaksanakan perjanjian tersebut,
perjanjian pajak termasuk kedalam poin nomor 1, yaitu “Perjanjian untuk
memberikan menyerahkan suatu barang” namun, pembayaran pajak ini dalam artian
uang, bukan barang.
7.
Wanprestasi
Apabila si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukannya, maka disebut dengan “wanprestasi”. Atau juga ia melanggar
perjanjian, yaitu apabila ia melakukan sesuatu yang tudak diperbolehkan dalam
perjanjian. Wanprestasi debitur dapat berupa empat macam, yaitu:
1) Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2) Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikannya,
3) Melakukan
apa yang dijanjikannya namun terlambat.
4) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kealpaan atau kelalaian siberhutang, maka ia akan
dikenakan sanksi atau hukuman.
Sama halnya dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Apabila subyek pajak melakukan kelalaian dalam proses pembayaran pajak, maka ia
akan dikenakan sangki atau hukuman perdata sebagaimana telah ditentukan dalam
Undang-Undang No. 12 tahun 1995.
8.
Cara-cara
Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan
sepuluh cara menghapuskan suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu:
1) Pembayaran.
2) Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan.
3) Pembaharuan
hutang.
4) Perjumpaan
hutang atau kompensasi.
5) Percampuran
hutang.
6) Pembebasan
hutang.
7) Musnahnya
barang yang terhutang.
8) Kebatalan
atau pembatalan.
9) Berlakunya
suatu syarat batal.
10) Lewatnya
waktu.
Kesimpulan:
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan
Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan
Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang
No.12 Tahun 1995. Dasar pemungutan pajak itu sendiri menggunakan
istilah-istilah dalam Hukum Perdata. Hukum Pajak dikenakan untuk seluruh warga
Negara yang tinggal di Indonesia, WNI maupun WNA yang menggunakan tanah, bumi
dan bangunan, meskipun WNA memiliki hak kebendaan atau hak eigendom. Tujuan
hukum wajib pajak adalah untuk menimbulkan hubungan hukum karena adanya hak
perikatan dan hak perjanjian.
Sumber:
https://dl.dropboxusercontent. com/content_link/ XfnccwgUzzoy3Pkii7Fmzcwy1PmBUC UhDaOJgaFUuwy1HqWvOLAvZbuqH7I6 Oz4u/file (15 April 2016)
https://dl.dropboxusercontent. com/content_link/ DxZxLjT3D1tR64ApfGQHkJvMq24uDP MbtjbDS778SZ3rDn9C60sErBjDwNeW IzIw/file (15 April 2016)
http://www.paserkab.go.id/ publikasi/661 (15 April 2016)
http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/36416 (15 April 2016)
http://repository.usu.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar