Selasa, 21 Juni 2016

Bumi dan Bangunan Menagih Bayaran !!!

ABSTRAK
            Sering sekali kita mendengar semboyan “Orang bijak membayar pajak!”. Pajak yang dimaksud dalam semboyan tersebut sebenarnya mencakup segala jenis pajak. Seperti Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain sebagainya. Namun, semboyan tersebut lebih ditekankan kepada Pajak Bumi dan Bangunan. Sebelum kita membahas lebih jauh lagi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan itu? Pajak Bumi dan Bangunan atau biasa disingkat dengan PBB merupakan pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 tahun 1995.
            Pajak Bumi dan Bangunan merupakan iuran rakyat kepada Negara, guna melaksanakan pemerintahan  dan pembangunan yang dalam pemungutannya sudah disetujui bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan didasarkan kepada Nilai Jual Objek Pajak. Sehingga dengan demikian dapat tercipta rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dalam membayar pajak. Dasar pemungutan Pajak itu sendiri yaitu istilah-istilah Hukum Perdata yang memberikan penafsiran serta pengertian yang sebagian besar digunakan dalam Hukum Pajak.
             Pajak Bumi dan Bangunan berlaku oleh siapapun yang menggunakan bumi, tanah, serta bangunan di Indonesia baik WNI maupun WNA. Meskipun WNA yang tinggal di Indonesia memiliki hak kebendaan atau hak eigendom atas tanah yang dimilikinya, mereka tetap harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan terhadap tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana halnya dengan tujuan hukum wajib pajak yang menimbulkan adanya hubungan hukum karena adanya perikatan (verbintenis) dan perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata.
BAB 2
Hukum Perdata
1.    Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
1.1.                     Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Bermula di Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum Tertulis dan Hukum Kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada saat itu dikarenakan keadaan hukum di Eropa yang sedang kacau-balau sehingga tidak ada kepastian hukum dan pada akhirnya orang mencari jalan keluar untuk mendapatkan kepastian hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais”. Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland distukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Lalu, setelah kemerdekaan Belanda dari Perancis, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum Perdatanya. Dan tepat pada 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van Koophandle). Dan pada tahun 1948, kedua Undang-Undang tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang kita kenal denngan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW. Sedangkan KUH Dagang untuk WVK.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, KUHP atau BW berperan sebagai dasar untuk pemungutan pajak. Dimana, yaitu istilah-istilah Hukum Perdata yang memberikan penafsiran serta pengertian yang sebagian besar digunakan dalam Hukum Pajak.
1.2.                     Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan didalam masyarakat. Yang memiliki arti luas yaitu meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana. Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) merupakan hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan didalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik. Disamping itu, terdapat juga Hukum Perdata Formil yang dikenal dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek dilingkungan perdata.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa dasar pemungutan pajak yaitu KUH Perdapata yang dimana apabila terjadi kendala dalam proses pemungutan pajak atau dengan kata lain subyek pajak tidak membayar pajak, maka dapat dikatakan bahwa subyek pajak telah melanggar hukum dan tindakan tersebut akan diproses dengan HAP (Hukum Acara Perdata).
                        Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia bersifat majemuk atau beranekaragam. Penyebab keanekaragaman tersebut dikarenakan 2 faktor, yaitu:
1.      Faktor Ethnis, disebabkan karena keaneka ragaman Hukum Adat di Indonesia karena Negara kita ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2.      Faktor Hostia Yuridis, dapat kita lihat pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu:
a.      Golongan Eropa dan yang dipersamakan.
b.      Golongan Bumi Putera.
c.       Golongan Timur Asing.

1.3.                     Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlakuan Undang-Undang, berisi:
·         Buku I
Berisi tentang orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
·         Buku II
Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Pajak Bumi dan Bangunan termasuk dalam sistematika hukum perdata karena seperti sudah dijelaskan diatas bahwa Buku II berisi tentang hal benda. Benda yang dimaksud adalah bisa dalam bentuk bangunan yang merupakan objek pajak sehingga dikenakan iuran sebagaimana telah diatur dalam UU No.12 tahun 1995.
·         Buku III
Berisi tentang hal perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
·         Buku IV
Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat yang kedua yaitu menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian, yaitu:
                                            I.            Hukum tentang Diri Seseorang (Pribadi).
Mengatur manusia sebagai subyek dalam Hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri.
                                          II.            Hukum Kekeluargaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
                                        III.            Hukum Kekayaan.
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum  yang dinilai dengan uang.
                                        IV.            Hukum Warisan.
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.

BAB 3
Hukum Kebendaan
1.    Hak Eigendom atas Tanah menurut B.W.
Peraturan-peraturan B.W. yang mengatur mengenai hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga Negara Indonesia yang berbangsa Eropa, Tionghoa, Arab dan Timur Asing lain. Akan tetapi hak eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B.W. dapat dimiliki juga oleh orang Indonesia asli, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibaan, warisan, dan lain sebagainya. Orang-orang Indonesia asli amat perlu tahu mengenai peraturan B.W. mengenai hak eigendom dan hak lain-lain.
Pasal 570 B.W. menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak yang mempunyai dua unsur, yaitu:
a.      Hak untuk memungut hasil atau kenikmatan sepenuhnya dari barang.
b.      Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain sebagainya.
Dan seperti halnya juga dengan hak milik (pada hakikatnya), dalam Pasal 570 B.W. itu dilakukan,  bahwa hal mempergunakan barang eigendom itu ada batasnya yang terletak pada undang-undang tertentu, pada ketentuan bahwa hak-hak orang lain tidak boleh terdesak, dan pada kemungkinan pencabutan hak eigendom berdasarkan atas kepentingan umum.
Pada hakikatnya, bagi seluruh warga Negara yang tinggal di Indonesia dan menggunakan bumi, tanah, ataupun membangun bangunan di Indonesia akan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang N0.12 Tahun 1995. Sekalipun warga tersebut berkewarganegaraan asing namun apabila mereka menggunakan bumi, tanah, ataupun bangunan sebagai tempat tinggal, tempat usaha, dan sebagainya mereka tetap membayar pajak sesuai ketntuan walaupun mereka memiliki hak eigendom. Hak eigendom yang mereka miliki hanya sebatas kenikmatan atas suatu obyek tertentu yang disertai dengan pembayaran pajak. Karena hak eigendom tidak meliputi pada peraturan bebas pajak.
            Sifat Perbedaan (Zakelijk karakter)
Hak perbedaan ialah hak perseorangan (persoonlijk recht) atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa. Hak sewa bagi yang menyewakan dan sipenyewa memiliki hak yang berbeda. Hak bagi yang meyewakan tersebut memiliki hak untuk meminta bayaran kepada sipenyewa atas benda yang disewakan. Sementara hak sipenyewa yaitu menggunakan benda yang disewakan tersebut sesuai dengan ketentuan.
Sementara mengenai pembayaran pajak bumi dan bangunannya biasanya diatur sesuai dengan perjanjian antara penyewa dan sipenyewa, siapa diantara mereka yang membayarkan iuran tersebut.
Sifat Mutlak (Absoluut karakter)
Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku II B.W. adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang mengganggu terlaksakannya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu. Sifat mutlak ini juga terdapat hak-hak yang bukan hak perbedaan seperti hak pengarang, hak oktroi, dan hak cipta dagang. Hak-hak semacam ini dikatakan sebagai hak monopoli dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang pengganggu.
Sebagaimana halnya dalam penarikan iuran Pajak Bumi dan Bangunan, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pengganggu. Maka pemerintah memiliki hak mutlak untuk memberikan hukuman kepada sipeganggu tersebut sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata dalam pelaksanaan penarikan iuran Pajak Bumi dan Bangunan.
Pembatasan Hak Eigendom
            Pembatasan hak eigendom terdapat 2 macam, yaitu:
1)      Berdasarkan atas hak-hak orang lain.
2)      Berdasarkan atas suatu penentuan belaka dari Undang-undang.
Seperti telah diterangkan diatas bahwa hak eigendom merupakan sebatas kenikmatan atas suatu objek tertentu tanpa disertai dengan pembebasan atas Pajak Bumi dan Bangunan. Dan salah satu dari pembatasan hak eigendom atas suatu penentuan belaka dari Undang-undang salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan.

1.1.                     Cara Mendapatkan Hak Eigendom atas Tanah
1)      Pencakupan barang lain menjadi satu benda.
2)      Mewarisi.
3)      Penyerahan yang mengikuti perjanjian untuk memindahkan hak eigendom.
4)      Pengaruh lampau waktu.

2.    Hak-hak Lain atas Tanah menurut B.W.
Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang tanah ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem B.W. selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah sebab pasal 520 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada “eigenar” nya adalah kepunyaan Negara. Kalau hak lain sangat kuat, artinya pada wujud pelaksanaanya tidak berbeda dengan hak eigendom, maka hak eigendom hak tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi kalau hak lain terhenti.
Tentang hak “bezit” dikatakan, bahwa perhubungannya dengan hak eigendom adalah sedikit berlainan, yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi “bezitter”.
            Hak Bezit
Soal bezit yaitu soal istimewa dari B.W. yang tiada taranya dalam Hukum Adat. Keistimewaan hak peraturan hukum bezit ini, terletak pada hal bahwa, hukum melindungi keadaan suatu bidang tanah yang belum tentu berdasar atas suatu hak sejati. Perlindungan ini kalau perlu berhadap-hadapan dengan seorang yang nyata yang mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom sejati.
            Gugatan yang Melekat pada Hak Bezit
                   Ada dua macam gugatan bezit, yaitu:
1)      Dalam hal seorang Bezier dipaksa oleh seorang lain untuk melepaskan penguasaan atas hak tanah yang dipegang. (pasal 563 B.W.)
2)      Dalam hal seorang Bezier, selama menguasai tanah yang dipegang, terganggu oleh perbuatan orang lain, yang bersifat menguasai juga, tetapi tidak dengan paksaan.
Hak Orang Tetangga (Burenrecht = Hukum bagi Orang-orang Tetangga)
Peraturan B.W. yang mengenai orang-orang tetangga diantara orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik pekarangan. Adalah contoh dari perakitan yang berumber melulu dari undang-undang.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu bergaul satu sama lain. Pergaulan ini sudah sewajarnya sering terlihat diantara orang-orang pemilik pekarangan, yang saling merupakan tetangga satu sama lain. Orang-orang satu sama lain mempunyai berbagai kepentingan dalam menggunakan pekarangan. Namun, kepentingan tersebut tidak selalu dapat dipuaskan dengan tidak memperkosa kepentingan tetangga.
Karena itu, dengan sendirinya harus diakui bahwa ada kepentingan seseorangan maka seharusnya dibatasi dalam hal memuaskannya, disinilah terletak prinsip saling harga menghargai terhadap pelbagai kepentingan tetangga sehingga lahirlah lalu llintas kesusilaan ini diantara orang-orang tetangga, lalu lintas kesusilaan ini menciptakan pelbagai larangan dan/atau suruhan untuk melakukan suatu hal.
Pada umunya, kalau seorang tetangga dengan sengaja melanggar lalu lintas kesusilaan ini, dan ia dengan pelanggaran itu merugikan orang lain, maka orang itu sudah dapat digugat didepan hakim.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, ditentukan bahwa pekarangan juga merupakan objek pajak sebagaimana tergantung pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dimana, seorang yang memiliki pekarangan akan dikenakan pajak diluar bangunan (rumah) yang didirikannya. Dan apabila seseorang tetangga yang tidak menanggung pajak atas pekarangan tersebut namun menggunakan pekarangan tersebut dengan tidak semestinya, maka ia telah melanggar hukum dan dapat digugat didepan hakim.
            Pembebanan Pekarangan (“efdientbaarheden,” “servituten”)
Pembebanan pekarangan ini oleh pasal 674 ayat 1 B.W. disebut sebagai suatu beban, yang diletakkan pada sebidang pekarangan untuk pemakaian untuk keperluan pekarangan lain, milik orang lain. Ayat 2 menekankan, bahwa pembebanan ini tidak boleh diadakan kepada perseorangan dan juga tidak boleh diadakan untuk keperluan perseorangan. Penyebutan arti semacam ini, mengakibatkan adanya suatu hak perbedaan yang tidak diberikan kepada manusia atau kepada badan hukum, melainkan kepada suatu benda, yaitu kepada sebidang pekarangan yang disebut sebagai pekarangan yang menguasai, sedangkan pekarangan yang mendapat beban disebut dengan pengarangan yang menderita atau yang mengabdi.
Mengenai pembebanan pekarangan, didalam Pajak Bumi dan Bangunan juga terdapat ketentuan atas pajak yang dikenakan pada suatu pekarangan yang diatur dalam UU No.12 tahun 1995.
Hak Erfpcht
Hak erfpcht dalam pasal 720 B.W. digambarkan sebagai hak untuk menikmati hasil dari sebidang tanah milik orang lain secara luas-luasnya, dengan kewajiban membayar setiap tahun sejumlah uang atau sejumlah hasil bumi kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu.
Jadi, seseorang yang menikmati hasil dari sebidang tanah yang dimiliki seorang eigendom harus membayar sejumlah uang atas hasil dari sebidang tanah tersebut, ia hanya membayar kepada pemilik tanah tersebut tanpa harus membayar pajak kepada Negara. Karena, pajak tersebut dikenakan kepada pemilik tanah tersebut sesuai diatur dalam UU N0.12 tahun 1995.
            Hak Opstal
Pasal 711 B.W. mulai dengan mengatakan, bahwa hak postal adalah suatu hak perbedaan untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman diatas tanah milik orang lain.
Sama halnya dengak hak erfpcht, namun pembebanan PBB dibayarkan oleh orang yang menggunakan rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman tersebut. Bukan orang yang memilikinya yang membayar.
            Hak Vruchtgebruik (Hak Memungut Hasil)
Menurut pasal 756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu hak perbendaan untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak eigendom atas barang itu, asal saja jangan sampai barang itu musnah. Perbedaan dengan hak efrpcht hanya terletak pada tanah dan barang lain yang tak bergerak, sedangkan hak vruchgebruik dapat mengenai barang bergerak. Dan perbedaan yang lebih penting terdapat pada pasal 807 B.W. bahwa hak ini tidak dapat diwarisi.
Hal Pengurus Barang (Bewindvoerder)
Adakalanya seorang pihak ketiga ditentukan untuk mengurus barang-barang yang berada dalam pembebanan hak vruchtgebruk, yaitu:
a)      Apabila ditentukan pada terbentuknya hak vruchtgebruik oleh si pemberi hak vruchtgebruik dalam surat hibah wasiat atau dalam membentuk persetujuan antara si pemilik dan si pemungut hasil.
b)      Apabila itu ditentukan oleh Hakim, kalau si pemungut hasil yang tidak mengadakan jaminan (pasal  786) atau kalau ia mengecewakan dalam hal mempergunakan hak vruchtgebruik secara merusak barang atau membiarkan barangnya tidak terpelihara (pasal 815 atau pasal 816 B.W.)
Hak Memakai dan Mendiami (gebruik en bewoning)
Disebutkan dua hal, yaitu memakai dan mendiami. Tetapi sebetulnya yang dimaksudkan ialah hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai rumah kediaman, maka hak memakai ini dinamakan hak mendiami. Untuk mudahnya hanya disebut hak memakai saja.
            Bunga Tanah
Menurut pasal 737 B.W. bunga tanah ini adalah suatu kewajiban seorang pemilik tanah untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang dan sejumlah hasil bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu, akan membayar bunga ini, menurut pasal 739 B.W. melekat pada tanah. Artinya, tetap berada, meskipun  tanahnya dijual kepada orang ketiga. Jadi, sipembeli tanah juga berkewajiban untuk melakukan pembayaran bunga itu.
Meskipun suatu tanah tertentu telah dikenakan bunga tanah akan tetapi tanah tersebut juga tetap dikenakan pajak sebagaimana telah diatur dalam UU No.12 tahun 1995.
            Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat
Undang-undang Darurat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat no. 8 tahun 1954 yang mulai berlaku pada tanggal 12-6-1954 memungkinkan hak atas suatu tanah perkebunan dicabut oleh pemerintah dengan pemberian ganti kerugian yang ditetapkan. Kemudian diberikan dengan satu hak kepada “rakyat dan penduduk lainnya,” yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria (pasal 11). Tindakan seperti ini dimaksudkan akan dilakukan di daerah-daerah, dimana tanah-tanah perkebunan de facto dikuasai oleh rakyat. Dalam hal ini menurut Undang-Undang Darurat tersebut, semua harus dirundingkan dulu antara Pemilik Perkebunan dan Rakyat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah itu secara damai. Kalau itu tidak mungkin maka pemerintah akan bertindak.
Objek pajak lainnya selain yang telah disebutkan diatas yaitu Perkebunan. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 telah ditentukan bahwa, Nilai Jual Kena Pajak-nya adalah sebesar 40%.
            Ketentuan-ketentuan Konvensi
Pasal-pasal yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan konvensi yaitu undang-undang Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal-pasal I s/d IX.

BAB 4
Hukum Perikatan dan Perjanjian
1.    Perihal Perikatan dan Sumber-sumbernya
Yang dimaksud dengan “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang “debitur”. Adapun barang yang dapat dituntut disebut dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:
1)      Menyerahkan suatau barang
2)      Melakukan suatu perbuatan
3)      Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang, diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Hukum Pajak Bumi dan Bangunan bertujuan untuk menimbulkan suatu perikatan. Yang mana sudah dijelaskan bahwa “perikatan” ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya. Begitu juga halnya dengan Pajak Bumi dan Bangunan, dimana Pemerintah sebagai kreditur dan masyarakat sebagai debitur sebagaimana telah diatur dalam UU No. 12 tahun 1995.
2.    Macam-macam Perikatan
A.    Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
B.    Perikatan yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu  (Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
C.     Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatif)
Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
D.    Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapai satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu dari mereka melunasi hutang maka pelunasan tersebut juga membebasi yang lainnya.
E.     Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula pada kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika salah satu pihak telah digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya dapat terjadi karena meninggal maka menyebabkan ia digantikan oleh ahli warisnya.
F.       Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah si berhutang melalaikan kewajibannya, maka dalam perjanjian dinyatakan bahwa bila si berhutang melalaikan kewajibannya maka akan dikenakan hukuman.
3.    Syarat-Syarat untuk Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:
1)      Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2)      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3)      Suatu hal tertentu.
4)      Suata sebab yang halal.

4.    Pembatalan Suatu Perjanjian
Dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian tersebut. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Maka salah satu pihak tidak dapat menuntut didepan hakim karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada perikatan atau perjanjian.
Apabila, dalam membuat perjanjian ada yang kurang mengenai syarat subjektif  maka perjanjian itu bukan batal demi hukum namun dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak.
Tentang suatu perjanjian yang tidak mengandung suatu syarat tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh kedua belah pihak.
5.    Saat dan Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik terjadinya setuju atau sepakat antar dua belah pihak mengenai suatu hal. Sepakat adalah persesuaian paham dan kehendak antar kedua belah pihak.
Dalam Pajak Bumi dan Bangunan, perjanjian atas pajak dilakukan secara tertulis oleh pemerintah sejak tahun 1984, atau awal dibuatnya Undang-undang mengenai perpajakan. Dan subyek pajak (sipembayar pajak) harus dengan suka rela mengikuti peraturan yang telah ditetapkan, karena mengingat kembali mengenai sifat pajak yaitu memaksa.
6.    Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah sebuah peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana kedua orang atau lebih telah berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Perjanjian-perjanjian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2)      Perjanjian untuk membuat sesuatu.
3)      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Sebagai subyek pajak yang melaksanakan perjanjian tersebut, perjanjian pajak termasuk kedalam poin nomor 1, yaitu “Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang” namun, pembayaran pajak ini dalam artian uang, bukan barang.
7.    Wanprestasi
Apabila si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka disebut dengan “wanprestasi”. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan sesuatu yang tudak diperbolehkan dalam perjanjian. Wanprestasi debitur dapat berupa empat macam, yaitu:
1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikannya,
3)      Melakukan apa yang dijanjikannya namun terlambat.
4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kealpaan atau kelalaian siberhutang, maka ia akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Sama halnya dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Apabila subyek pajak melakukan kelalaian dalam proses pembayaran pajak, maka ia akan dikenakan sangki atau hukuman perdata sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1995.
8.    Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara menghapuskan suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu:
1)      Pembayaran.
2)      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan.
3)      Pembaharuan hutang.
4)      Perjumpaan hutang atau kompensasi.
5)      Percampuran hutang.
6)      Pembebasan hutang.
7)      Musnahnya barang yang terhutang.
8)      Kebatalan atau pembatalan.
9)      Berlakunya suatu syarat batal.
10)  Lewatnya waktu.
Kesimpulan:
            Pajak Bumi dan Bangunan merupakan Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No.12 Tahun 1995. Dasar pemungutan pajak itu sendiri menggunakan istilah-istilah dalam Hukum Perdata. Hukum Pajak dikenakan untuk seluruh warga Negara yang tinggal di Indonesia, WNI maupun WNA yang menggunakan tanah, bumi dan bangunan, meskipun WNA memiliki hak kebendaan atau hak eigendom. Tujuan hukum wajib pajak adalah untuk menimbulkan hubungan hukum karena adanya hak perikatan dan hak perjanjian.

Sumber: